WAKAF MANDIRI - Ada dua pendapat wakaf yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha) tentang siapa yang pertama kali yang melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat para ulama yang mengatakan, bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW, ialah wakaf tanah milik Nabi Muhammad SAW untuk dibangun sebuah masjid. Sebelum pindah ke rumah pamannya yang berasal dari Bani Najjar.
Kemudian disusul dengan pembangunan Masjid Nabawi, yang dibangun di atas tanah anak yatim dari Bani Najjar, setelah dibeli oleh Rasulullah dengan harga delapan ratus dirham. Setelah dilakukan pembelian tanah anak yatim tersebut, Beliau wakafkan tanah tersebut dan dibangunlah masjid diatas tanah tersebut yang saat ini masjid tersebut kita kenal sebagai Masjid Nabawi.
Dengan demikian, Rasulullah telah mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid. Peristiwa ini menjadi kisah pertama wakaf yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yang kemudian ajaran ini di ikuti oleh para sahabat.
Selain kisah diatas terdapat 2 kisah sahabat nabi yang pertama kali melaksanakan syariat Wakaf yaitu kisah Umar bin Khatab dan Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangan dan terbaik yang mereka miliki. Berikut ini kisahnya berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar ra.
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, umar berkata, “Hai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”
Rasulullah SAW bersabda, “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata, “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah Ibnu sabil, dan tamu, dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta.”
Peristiwa ini terjadi setelah pembebasan tanah Khaibar pada tahun ke-7 Hijriyah. Pada masa Umar bin Khattab menjadi Khalifah, ia mencatat wakafnya dalam akte wakaf dengan disaksikan oleh para saksi dan mengumumkannya.
Sejak saat itu banyak keluarga Nabi dan para sahabat yang mewakafkan tanah dan perkebunannya. Sebagaian di antara mereka ada yang mewakafkan harta untuk keluarga dan kerabatnya, sehingga muncullah wakaf keluarga (wakaf dzurri atau ahli).
Kemudian wakaf yang telah dilakukan Umar bin Khattab disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun Bairaha. Maka turunlah Ayat yang berbunyi, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”
Ayat inilah yang membuat Abu Thalhah semangat mewakafkan perkebunannya. Rasulullah telah menasehatinya, agar ia menjadikan perkebunannya itu untuk keluarga dan keturunannya. Maka Abu Thalhah mengikuti perintah Rasulullah tersebut, dan di antara keluarga yang mendapat wakaf dari Abu Thalhah adalah Hassan bin Tsabit.
Atas kisah kedua sahabat tersebut, maka semakin banyak sahabat nabi yang bersedia mewakafkan harta yang dimilikinya untuk kemaslahatan umat. Seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Makkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Makkah.
Sahabat Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ad bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah istri Rasulullah SAW.
Nabi juga mewakafkan perkebunan Mukhairik, yang telah menjadi miliknya. Beliau menyisihkan sebagian keuntungan dari perkebunan itu untuk kepentingan kaum Muslimin. Kisah ini dijadikan sebagai kisah wakaf produktif, dimana hasil yang di peroleh dari pengelolaan sebidang tanah perkebunan di pergunakan untuk kepentingan kaum.
Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. Sehingga pengelolaan harta wakaf mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa Pemerintahan Harun Ar-Rasyid.
Harta wakaf menjadi bertambah dan berkembang, bahkan tujuan wakaf menjadi semakin luas bersamaan dengan berkembangnya masyarakat Muslim ke berbagai penjuru. Kreativitas dalam pengembangan wakaf Islam tidak terbatas pada wakaf yang ada pada umumnya, tetapi berkembang pesat bersamaan dengan munculnya jenis wakaf dan tujuannya. Terlebih lagi dalam perkembangan masalah teknis berkaitan dengan hukum-hukum fikih.
Pemahaman tentang wakaf sedikit demi sedikit berkembang dan telah mencakup beberapa benda, seperti tanah dan perkebunan, yang hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan tempat peribadatan dan kegiatan keagamaan serta diberikan kepada fakir miskin.