...
Jika Wakaf Sudah Menjadi Gaya Hidup

WAKAF MANDIRI - Wakaf merupakan instrumen penting dalam ajaran Islam yang bertujuan memberdayakan potensi ekonomi kaum Muslimin. Wakaf bersifat sunah muakadah (sunah yang sangat dianjurkan).

Pengertian wakaf adalah menahan harta, baik secara abadi maupun sementara, untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan, baik umum maupun khusus.

Yang dimaksud menahan harta adalah seperti orang yang wakaf tanah atau bangunan. Selama tanah atau bangunan tersebut masih ada, dapat diambil manfaatnya secara berulang-ulang untuk waktu yang tak terbatas, seperti untuk masjid, sekolah, jalan umum, dan lainnya.

Contohnya, Masjid Nabawi yang ada di Madinah. Dahulu tanahnya adalah milik dua anak yatim dari Bani Najjar. Semula akan dihibahkan kepada Rasulullah SAW, tetapi beliau menolak. Mungkin karena pertimbangan ia adalah milik anak yatim yang harus dilindungi, Rasul memutuskan untuk membelinya dengan harga 10 Dinar, yang dibayarkan oleh Abu Bakar as-Shiddiq RA. Waktu itu, luas Masjid Nabawi hanya 35x35 meter. Setelah Perang Khaibar pada tahun 7 Hijriyah, diperluas menjadi 50x50 meter. Itulah perluasan Masjid Nabawi terakhir, hingga wafatnya Nabi.

 

Perluasan itu menuju ke sisi utara di atas tanah yang telah diwakafkan oleh pemiliknya, Abdurrahman bin Auf RA. Dia dikenal sebagai saudagar kaya raya yang menjadi sahabat setia Rasul, hingga akhir hayatnya. Abdurrahman bin Auf RA saat itu memiliki tiga rumah. Salah satunya ia gunakan untuk menempatkan tamu-tamu Rasulullah yang menginap, karena rumahnya termasuk yang paling megah di Madinah. Inilah yang disinyalir sebagai jenis wakaf manfaat pertama dalam sejarah Islam.

Lalu Utsman bin Affan RA mewakafkan sumur yang bernama Bi’ru Ruumah untuk dipergunakan memberi minum kaum muslimin. Sebelumnya, pemilik sumur adalah seorang Yahudi dan mempersulit warga yang mau membeli air, karena mematok harga tinggi. Maka, Rasulullah menganjurkan untuk membelinya dan menjanjikan bahwa yang membeli sumur tersebut akan masuk surga. “Barang siapa membeli sumur Ruumah, maka Allah SWT mengampuni dosa-dosanya.” (HR an-Nasai). Lalu, tergeraklah hati Usman bin Affan RA, sehingga dia membeli sumur tersebut yang kemudian diwakafkan untuk kepentingan umat.

Abu Thalhah RA mewakafkan kebun terbaiknya, yaitu perkebunan Bairuha. Padahal, perkebunan itu adalah harta yang paling dicintainya. Perkebunan itu paling menghasilkan dan paling produktif. Abu Thalhah termotivasi oleh ayat yang sebelumnya baru saja diturunkan kepada Rasulullah SAW yang berbunyi, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92)

Umar bin Khattab RA juga mewakafkan tanah di Khaibar. Tanah Khaibar ini sangat disukai olehnya karena subur dan banyak hasilnya. Umar RA meminta nasihat kepada Rasulullah, maka Nabi menyuruh Umar menahan pokoknya dan memberikan hasilnya kepada fakir miskin. Umar pun melakukan hal itu. Ini terjadi pada tahun ketujuh Hijriyah. Inilah konsep wakaf produktif pertama dalam sejarah Islam.

Sejak saat itu, banyak keluarga Nabi SAW dan para sahabat yang lain yang mewakafkan tanah dan perkebunan. Para sahabat Nabi tersebut, menjadikan wakaf sebagai gaya hidup. Mereka selalu berlomba dalam berwakaf dan memberikan harta terbaiknya untuk kemaslahatan umum. Jika umat membutuhkan gerakan, para sahabat itulah yang berebut mengambil peran dalam berwakaf.