...
Menuju Jalan Kebahagiaan

WAKAF MANDIRI - Tidak ada manusia yang berakal, kecuali pasti mencari dan menginginkan kebahagiaan. Di antara mereka ada yang Allah berikan petunjuk untuk menempuh jalan yang benar kepada kebahagiaan itu. Sayangnya, banyak juga di antara mereka yang menghabiskan umur mereka dengan mencari di tempat yang salah, dan dengan cara yang salah.

Kebahagiaan bukanlah obat yang bisa dibeli di apotek lalu diminum, dan kemudian dapat menyembuhkan penderitaan. Namun, ia memiliki beberapa sebab dan jalan, yang jika ditempuh oleh seseorang, maka orang tersebut akan mendapatkan kebahagiaan. Dan jika ia menyeleweng dari jalan tersebut, maka ia tidak akan bisa mencapainya.

Sebagaimana manusia yang membutuhkan obat saat ia sakit, begitu juga dengan mereka yang menginginkan kebahagiaan. Tentu ia juga memerlukan sebab-sebab untuk meraihnya, menempuh jalan menuju kepadanya, memahami sarana-sarana dan rukun-rukunnya, merealisasikannya, dan mengamalkannya. Sehingga akhirnya ia selamat dari kesusahan dan penderitaan yang menimpanya.

Berikut beberapa cara agar kehidupan yang dijalani oleh seorang muslim dipenuhi dengan kebahagiaan. Yakni,

  1. Tawakal.
  2. Membahagiakan orang lain.
  3. Hati yang bersih.

Tawakal, Kunci Utama Hidup Bahagia.

Kebahagiaan ada pada ketaatan kepada Allah SWT, dan penderitaan ada karena kemaksiatan kepadaNya. Di antara ketaatan yang akan membahagiakan dan menyelamatkan seorang muslim adalah bertawakal kepada Allah, menyerahkan diri kepadaNya, serta percaya sepenuh hati dengan keputusanNya. Di mana Allah SWT berjanji akan memberikan jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapinya, memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.

Allah SWT berfirman, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusanNya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. At-Talaq: 2-3)

Bagaimana tidak? Orang jika bertawakal, maka ia akan menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah di dalam meraih kemaslahatan dan menolak kemudaratan, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Ia yakin bahwa Allah satu-satunya yang dapat memberi kebahagiaan untuk seseorang. Dan Allah jugalah yang berhak mengangkat kebahagiaan tersebut darinya. Sehingga ia tidak akan pernah menyesali apa pun yang Allah SWT takdirkan kepadanya.

Rasa tawakal dan berserah diri yang benar, tidak meniadakan usaha yang dikerahkan di dalam menjalankan sebab-sebab keberhasilan dan kebahagiaan. Justru merupakan tawakal yang salah jika hanya berpangku tangan dan bermalas-malasan.

Allah SWT berfirman, “Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya, ‘Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah, hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Ma’idah: 23)

Nabi SAW bersabda, “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, maka Allah akan memberi rezeki kalian sebagaimana Allah memberi rezeki burung. Pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164, dan Ahmad no. 604)

Hal ini menunjukkan bahwa tawakal maknanya bukan pasrah dan meninggalkan sebab. Tapi, tawakal harus disertai dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dari Allah berupa makanan dan rasa kenyang setelah ia berusaha dan melakukan sebab-sebab untuk meraihnya.

Tawakal mengarahkan seseorang kepada kebahagiaan dari beberapa sisi. Yaitu,

  1. Tawakal merupakan salah satu sebab mendapatkan pahala, dan pahala yang diraih merupakan sebab kebahagiaan.
  2. Tawakal menjadikan seseorang hanya menyandarkan dirinya kepada Allah, bukan manusia. Sehingga ia tidak mengharapkan apa pun yang ada di tangan manusia. Jikalau ia menginginkan sesuatu, maka ia hanya meminta kepada Allah SWT.
  3. Tawakal akan mendatangkan rezeki, sebagaimana kisah burung yang telah disebutkan dalam hadis di atas.
  4. Kalaupun tawakal tidak memiliki keutamaan, kecuali mendapatkan pengakuan cinta dari Allah SWT, maka itu sungguh sangat mencukupi. Allah SWT berfirman, “Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Al-Imran: 159)

Membahagiakan orang lain, mendatangkan kebahagiaan untuk diri sendiri.

Sungguh kebahagiaan ini tidak dapat dirasakan, kecuali oleh mereka yang sudah melakukannya. Membahagiakan orang lain memiliki berbagai macam sarana dan bentuk. Ada yang bersifat materi, seperti memberikan bantuan untuk orang fakir, ataupun yang bersifat maknawi, seperti mendamaikan dua orang yang sedang berselisih ataupun menasehati orang lain.

Di antara bentuk membahagiakan orang lain yang paling mulia adalah meringankan beban dan kesulitan yang sedang mereka hadapi. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam utangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim no. 2699)

Sedangkan bentuk ‘sedekah’ dan membantu orang lain yang paling utama adalah mengajarkan ilmu agama. Sahabat Nabi Muadz bin Jabal pernah berkata, “Belajarlah kalian ilmu agama, sungguh mempelajarinya karena Allah mendatangkan rasa takut kepadaNya, mencari dan mempelajarinya adalah ibadah, mengulangi dan mengingat-ingatnya adalah salah satu bentuk dzikir, membahasnya adalah jihad, mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah.” (Madariju As-Salikiin karya Ibnul Qayyim, 4: 134)

Hati yang bersih dari balas dendam dan kedengkian.

Kebahagiaan yang hakiki (yaitu kebahagiaan di akhirat nanti) tidak diperuntukkan, kecuali untuk mereka yang memilik hati yang bersih. Allah SWT berfirman, “(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara’: 88-89)

Seorang muslim tentunya harus bersemangat untuk menyucikan hatinya dari segala macam penyakit dan apa-apa yang mengotorinya, baik itu rasa sombong, kebencian, maupun rasa iri dan dengki kepada yang lain. Karena bersihnya hati merupakan ciri-ciri penduduk surga yang Allah SWT kisahkan di dalam Al-Quran. Yaitu, “Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka, mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata, ‘Segala puji bagi Allah, yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk.” (QS. Al-A’raf: 43)

Sungguh tidak ada yang lebih berbahagia dari orang yang ikut senang ketika saudaranya sedang mendapatkan kebaikan dan kenikmatan, ikut bahagia ketika mereka bahagia. Dan tidak ada yang lebih menderita dari orang yang mudah sekali merasa hasad (iri dan dengki) dengan saudaranya, sampai-sampai ia berharap agar kenikmatan tersebut hilang dan sirna dari orang yang mendapatkannya. Sungguh keduanya adalah kondisi yang berbeda, semoga Allah SWT menghindarkan kita dari keburukan perasaan hasad terhadap orang lain.

Karena hasad sejatinya, menghilangkan kebahagiaan serta mengurangi kesempurnaan iman. Nabi SAW bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah akan beriman dengan sempurna hingga menginginkan untuk saudaranya hal-hal yang dia inginkan untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

Semoga Allah SWT menjadikan kita, salah satu hambaNya yang selalu bertawakal kepadaNya dalam setiap urusan. Menjadikan kita termasuk orang yang mudah membahagiakan orang dengan apapun yang kita mampu. Dan semoga Allah SWT membersihkan diri kita dari segala macam penyakit hati yang dapat merusaknya.