...
Ketika “Taat” di Cap Penjilat

WAKAF MANDIRI - Di zaman sekarang, ajaran agama Islam yang shahih seakan semakin terasing dan terasa aneh, meskipun di tengah-tengah umat Islam sendiri. Hal ini akibat semakin jauhnya mereka dari ajaran Nabi SAW, sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat sebagai generasi terbaik umat ini.

Dewasa ini, ketika kita sampaikan salah satu prinsip pokok ahlus sunnah, yaitu “ketaatan terhadap pemimpin (penguasa atau pemerintah)” maka kita dapati komentar-komentar yang sinis. Di antaranya dengan memberi label sebagai “penjilat” atau “cukong penguasa” dan label-label negatif lainnya.

Padahal, kalaulah mereka mau duduk dan belajar sejenak, mereka akan temukan bahwa kaidah ini sudah disampaikan oleh para ulama sejak ratusan tahun yang lalu. Dinukil dari zaman ke zaman, dari generasi ke generasi, di buku-buku akidah yang mereka tulis, sehingga sampailah ke zaman kita saat ini.

Para ulama dulu menyampaikan kaidah ini, untuk memarticleshukan bahwa inilah prinsip yang menjadi agama dan keyakinan mereka (Islam). Para ulama menyampaikan prinsip tersebut, meskipun mereka bukan hakim (qadhi) yang makan dan hidup dari gaji pemerintah dan penguasa saat itu. Bukan pula untuk mengharapkan jabatan dan kedudukan. Karena inilah akidah yang mereka yakini, dan di atas prinsip inilah mereka berjalan.

Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya Al-Muzanni rahimahullah (salah seorang murid senior Imam Asy-Syafi’i rahimahullah), ketika menjelaskan prinsip-prinsip pokok akidah ahlus sunnah di kitab beliau Syarhus Sunnah, beliau berkata, “Dan bersikap taat kepada ulil amri (pemerintah) dalam hal-hal yang diridhoi oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Dan meninggalkan (ketaatan kepada mereka) dalam hal-hal yang mendatangkan murka Allah. Meninggalkan sikap khuruj (menentang kekuasaannya) ketika pemerintah bersikap sewenang-wenang (dzalim) dan tidak adil. Bertobat kepada Allah agar pemerintah bersikap kasih sayang kepada rakyatnya.”

Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal rahimahullahu Ta’ala dalam kitab Ushuulus Sunnah yang juga menjelaskan akidah pokok ahlus sunnah. Beliau berkata, “Mendengar dan taat pada pemimpin (penguasa) dan amirul mukminin, baik pemimpin tersebut adil (shalih) maupun jahat (fajir). (Dan wajib taat) kepada orang yang menjabat sebagai khalifah (pemimpin), karena manusia telah berkumpul (berbai’at) dan ridho kepadanya. Dan taat kepada orang yang memberontak pemerintah dengan pedang, ketika (pemberontak) tersebut (berhasil) menjadi khalifah dan diangkat sebagai amirul mukminin.”

Maksud beliau adalah, jika ada pemberontak yang berhasil menggulingkan pemerintah yang sah, dan dia kemudian diangkat sebagai penguasa yang baru, maka tetap wajib ditaati. Karena jika penguasa baru tersebut diberontak lagi, akan menyebabkan pertumpahan darah berkepanjangan pada kaum muslimin.

Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab At-Tamimi rahimahullahu Ta’ala juga mengatakan demikian dalam kitab ringkas beliau yang menjelaskan enam prinsip pokok penting yang wajib diketahui oleh setiap muslim, yaitu kitab Al-Ushuul As-Sittah. Beliau rahimahullah berkata dalam prinsip yang ketiga, “Sesungguhnya di antara kesempurnaan persatuan adalah mendengar dan taat kepada siapa saja yang menjadi pemerintah kita, walaupun dia adalah seorang budak habsyi.”

Setelah beliau menjelaskan kaidah tersebut, maka beliau melanjutkan bahwa kaidah ini menjadi terasing di tengah-tengah masyarakat yang mengaku berilmu. Beliau berkata, “Nabi telah menjelaskan hal ini dengan penjelasan yang lengkap dan mencukupi dari segala sisi dengan berbagai bentuk (metode) penjelasan, baik secara syar’i atau qadari. Selanjutnya, hal dasar yang pokok ini menjadi hal yang tidak dikenal (asing) di tengah kebanyakan orang yang mengaku berilmu. Bagaimana lagi (mereka) bisa beramal dengannya?”

Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al-Barbahari rahimahullahu Ta’ala mengatakan yang sama dalam kitab beliau yang masyhur, Syarhus Sunnah, “(Wajib) mendengar dan taat kepada pemimpin dalam hal-hal yang Allah cintai dan ridhai. Dan siapa saja yang diberi kepemimpinan dengan kesepakatan masyarakat dan atas keridhoan mereka, maka itulah amirul mukminin. Tidak boleh bagi seorang pun melewati suatu malam dalam kondisi dia tidak memiliki pemimpin, baik pemimpin tersebut shalih (adil) atau jahat (fajir).”