WAKAF MANDIRI - Semua bentuk ibadah, baik lahir maupun batin, harus memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (sesuai dengan tuntunan Nabi SAW). Sehingga setiap amalan yang tidak ikhlas untuk mencari wajah Allah, maka itu adalah batil. Demikian pula setiap amalan yang tidak sesuai dengan ajaran Rasul SAW, maka tertolak. Amalan yang memenuhi kedua syarat inilah yang diterima di sisi Allah SAW. (karya Syaikh as-Sa’di, hal. 15)
Kedua syarat ini telah tercakup di dalam ayat, “Tidak demikian, barangsiapa yang memasrahkan wajahnya kepada Allah dalam keadaan dia berbuat ihsan/kebaikan, maka baginya pahala di sisi Rabbnya, dan mereka tidak akan takut ataupun bersedih.” (QS. Al-Baqarah: 112)
Kalimat “memasrahkan wajahnya kepada Allah” artinya niat dan keinginannya semata-mata untuk Allah; yaitu dia mengikhlaskan ibadahnya untuk Allah. Adapun “dia berbuat ihsan” maksudnya adalah mengikuti tuntunan Rasul SAW serta menjauhi bid’ah. (karya Syaikh Shalih al-Fauzan, 2/824-825)
Dengan demikian, hakikat amal saleh itu adalah yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi SAW. Tidaklah disebut sebagai amal saleh yang sebenarnya, kecuali apabila memenuhi kedua syarat ini. Dikarenakan begitu pentingnya ikhlas dalam beribadah, maka Allah menegaskan hal itu secara khusus dalam firmanNya, “Hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Dan ketika jelas bagi kita bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta ini, maka tidak layak Allah dipersekutukan dalam hal ibadah dengan siapa pun juga. (karya Syaikh al-Utsaimin, hal. 153)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, bahwa amal saleh ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah. Sedangkan tidak mempersekutukan Allah, maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisiNya. (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim)
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan selainKu bersama diriKu, maka Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim)
Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia pasti tertolak.”
Di dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia pasti tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Majisyun berkata, Aku pernah mendengar Malik berkata, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu bid’ah yang dia anggap baik, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad SAW mengkhianati risalah. Sebab Allah berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian.” Apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk ajaran agama, maka hari ini hal itu bukan termasuk agama.” (al-I’tisham)
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu: Untuk siapa? dan Bagaimana? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul SAW. Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya. (Ighatsat al-Lahfan)
Pentingnya Ikhlas
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, “Barangsiapa mengikhlaskan amal-amalnya untuk Allah serta dalam beramal itu dia mengikuti tuntunan Rasulullah SAW maka inilah orang yang amalnya diterima. Barangsiapa yang kehilangan dua perkara ini -ikhlas dan mengikuti tuntunan- atau salah satunya maka amalnya tertolak. Sehingga ia termasuk dalam cakupan hukum firman Allah Ta’ala, “Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka perbuat kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23).” (Bahjah al-Qulub al-Abrar)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwasanya ibadah dan segala bentuk amalan tidaklah menjadi benar kecuali dengan dua syarat; ikhlas kepada Allah ‘azza wa jalla, dan harus sesuai dengan tuntunan Rasul SAW. Demikian sebagaimana beliau terangkan dalam I’anatul Mustafid.
Beliau juga memaparkan, bahwasanya kedua syarat ini merupakan kandungan dari kedua kalimat syahadat. Syahadat “laa ilaha illallah” bermakna kita harus mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah. Syahadat “Muhammad rasulullah” bermakna kita harus mengikuti tuntunan dan ajaran Rasulullah SAW. (I’anatul Mustafid)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka bukanlah perkara yang terpenting adalah bagaimana orang itu melakukan puasa atau sholat, atau memperbanyak ibadah-ibadah. Sebab yang terpenting adalah ikhlas. Oleh sebab itu sedikit namun dibarengi dengan keikhlasan itu lebih baik daripada banyak tanpa disertai keikhlasan. Seandainya ada seorang insan yang melakukan shalat di malam hari dan di siang hari, bersedekah dengan harta-hartanya, dan melakukan berbagai macam amalan akan tetapi tanpa keikhlasan, maka tidak ada faidah pada amalnya itu; karena itulah dibutuhkan keikhlasan … ” (Syarh Rasa’il)
Perintah Mengikuti Sunnah
Di dalam hadits Irbadh bin Sariyah, Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kalian berpegang dengan Sunnahku …” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud dengan istilah “sunnah” di sini adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi SAW. Artinya janganlah kalian mengada-adakan di dalam agama ini sesuatu yang bukan termasuk bagian dari ajarannya dan jangan keluar dari syari’at beliau SAW.
Dengan demikian, istilah “sunnah” di sini bermakna umum mencakup keyakinan, amalan, dan ucapan. Inilah sunnah dengan makna yang lengkap. Oleh sebab itu para ulama salaf tidak memakai istilah sunnah kecuali dengan maksud yang mencakup ini semua/seluruh ajaran agama. Kemudian para ulama belakangan setelah mereka sering menggunakan istilah “sunnah” dengan makna yang lebih khusus yaitu yang berkaitan dengan urusan akidah atau keyakinan. Hal ini bisa dipahami karena masalah akidah merupakan pondasi agama. Sehingga orang yang menyimpang dalam perkara ini berada dalam bahaya yang sangat besar.
Istilah “sunnah” inilah yang sering kita dengar dalam penyebutan ahlus sunnah wal jama’ah. Sebab sunnah di sini, maknanya adalah jalan Nabi SAW dan para sahabatnya sebelum munculnya berbagai bentuk bid’ah dan pendapat-pendapat yang menyimpang. Adapun istilah “jama’ah” di sini maksudnya adalah orang-orang yang berkumpul di atas kebenaran, yaitu para sahabat dan tabi’in; para pendahulu yang saleh dari umat ini.