WAKAF MANDIRI - Salah satu tujuan utama dalam beramal adalah mendapat pahala dari Allah SWT. Namun, bagaimana jika amalan yang sangat diharapkan sebagai tabungan di akhirat ternyata sia-sia, dan tak tertulis sebagai amalan.
Bagaimana mungkin amalan akan diterima, tatkala kita tidak mengetahui cara agar amalan bisa diterima dan mendapat ridho dari Allah. Apalagi jika ukuran kesuksesan dalam beramal tatkala mendapat pujian belaka.
Tak dapat diragukan lagi, walau pun lisan ini mengatakan ‘Aku ikhlas’, namun ikhlas tak semudah hanya ucapan saja dan malahan perlu dicek lagi arti keikhlasannya. Dan ingatlah, tak ada satu detik waktu pun, menjadi sia-sia dan berakhir penyesalan. Jika segera diikuti dengan taubat dan membenahi cara beramal dengan benar.
Amalan, tidak lepas dari 2 hal yaitu ikhlas dan ittiba’.
Ikhlas adalah niat dalam beramal, dan merupakan ruh bagi amalan. Dalilnya, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya setiap orang itu mendapatkan balasan sesuai dengan yang diniatkannya.” (Muttafaqun’alaihi)
Ittiba’ adalah amalan hendaknya dilakukan sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dan ittiba’ ini laksana jiwa bagi amalan.
Allah SWT berfirman, “Kataknlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Kedua syarat tersebut jangan sampai tercecer. Karena jika salah satu syarat hilang, maka ia tidak benar (bukan amal shalih) dan tidak akan diterima di sisi Allah. Diantara dalil yang memperkuat pernyataan tersebut, “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. AL Kahfi: 110)
Tidak Ikhlas, Namun Ittiba’.
Misalnya, melakukan shalat sesuai dengan rukun-rukun shalat yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. Namun ditengah perjalanan shalat tersebut, ada orang yang melihat dan hati timbul rasa ingin memperbagus gerakan, memperlama waktu shalat, dan lainnya.
Hal inilah yang perlu dipertanyakan keikhlasan shalatnya. Apakah shalat hanya mengharap wajah Allah, ataukah disertai pula mengharap pujian orang lain?
Berikut ini beberapa cara untuk mewujudkan keikhlasan dalam beramal. Yakni,
Berdoalah agar setiap amalan ikhlas karena Allah. Sebagai manusia tak lepas dari riya’, pamer dan suka dipuji. Khalifah besar seperti Umar Ibnul Khattab radhiyallahu’anhum yang merupakan sahabat Rasul dan sudah dijanjikan surga kepadanya, pun masih saja berdoa agar ikhlas dalam beramal. “Ya Allah jadikanlah amalku shalih semuanya dan jadikanlah ia ikhlas karena-Mu dan janganlah Engkau jadikan untuk seseorang dari amal itu sedikitpun.”
Sembunyikan amal seperti menyembunyikan keburukan. Seperti perkataan Bisyr Ibnul Harits berkata, “Jangan kau beramal supaya dikenang. Sembunyikanlah kebaikanmu seperti kamu menyembunyikan kejelekanmu.”
Memperhatikan amalan mereka yang lebih baik. Bacalah biografi-biografi dari para sahabat, tabi’in, serta orang-orang terdahulu, sebagai suri teladan dalam beramal. Karena hidup di jaman sekarang ini, terkadang dari penampakan terlihat bagus dan banyak yang meneladani, namun ternyata amalan-amalan bid’ah yang dilakukannya. Na’udzubillahi min dzalik.
Terkadang manusia terjebak dengan godaan setan, yaitu melakukan sedikit amal dan merasa kagum dengan sedikit amal tersebut. Dan akibatnya bisa fatal, karena bisa jadi satu amal kebaikan bisa memasukkan manusia ke neraka.
Seperti perkataan Sa’d bin Jubair, “Ada seseorang yang masuk surga karena sebuah kemaksiatan yang dilakukannya dan ada yang masuk neraka karena sebuah kebaikan yang dilakukannya. Seseorang yang melakukan maksiat setelah itu ia takut dan cemas terhadap siksa Allah karena dosanya, kemudian menghadap Allah. Dan Allah mengampuninya, karena rasa takutnya kepada-Nya, dan seseorang berbuat suatu kebaikan lalu ia senantiasa mengaguminya kemudian ia pun menghadap Allah dengan sikapnya itu, maka Allah pun mencampakkannya ke dalam neraka.”
Poin ini berkaitan dengan poin sebelumnya, bahwa lebih baik menganggap remeh amal yang telah diperbuat, agar dapat menjaga hati ini dari rasa kagum terhadap amal yang telah diperbuat.
Orang yang mendapat taufik adalah orang yang tidak terpengaruh dengan pujian orang. Ibnul Jauzy (Shaidul Khaathir) berkata, “Bersikap acuh terhadap orang lain serta menghapus pengaruh dari hati mereka dengan tetap beramal shaleh disertai niat yang ikhlas dengan berusaha untuk menutup-nutupinya adalah sebab utama yang mengangkat kedudukan orang-orang yang mulia.”
Manusia tidak dapat memberikan manfaat, maupun menimpakan bencana kepada manusia. Begitu pula manusia, bukanlah pemilik surga maupun neraka. Manusia tidak bisa memasukkan manusia lain ke surga, dan mengeluarkan manusia lain keluar dari neraka. Lantas untuk apalagi beramal demi manusia, agar dipuji atasan, agar disanjung mertua, atau agar datang simpati dari manusia lain.
Ingatlah, bahwa Anda akan berada dalam kubur sendirian. Jiwa akan menjadi lebih baik tatkala ingat tempat ia kembali. Bahwa ia akan beralaskan tanah dikuburnya sendiri, tak ada yang menemani.
Manusia tidak dapat meringankan siksa kuburnya, seluruh urusannya berada ditangan Allah. Ketika itulah ia yakin, bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkannya, kecuali dengan mengikhlaskan seluruh amalnya hanya kepada Allah Yang Maha Pencipta semata.
Semoga kita senantiasa diberikan kemudahan oleh Allah untuk mengamalkan ilmu dengan disertai keikhlasan dalam mengamalkannya tersebut. Ingatlah, bahwa hanya Allah yang dapat membolak-balikkan hati hambaNya.