WAKAF MANDIRI - Wakaf merupakan amal kebaikan yang tak akan ada habisnya bagi orang yang berwakaf. Oleh karenanya, barang yang diwakafkan itu tetap utuh sampai kapanpun. Di samping utuh, barang tersebut juga dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Dengan begitu, pahala yang dihasilkan terus mengalir kepada wakif, meskipun ia sudah meninggal dunia. Hal inilah yang membedakan keutamaan wakaf dibanding dengan ibadah lainnya yang sejenis.
Melaksanakan wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya. Yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya untuk kepentingan umum. Jadi, wakaf adalah jenis ibadah yang istimewa dan utama bagi orang yang beriman dan beramal saleh. Hanya dengan memberikan harta untuk wakaf, manfaat dan hasilnya dapat terus berlipat tanpa henti.
Intinya, filosofi, orientasi dan hikmah dalam wakaf itu terdapat tiga poin. Yakni,
1. Wakaf untuk sarana dan prasarana ibadah dan aktivitas sosial.
Sebenarnya wakaf sudah dikenal dalam masyarakat Arab kuno di Makkah sebelum kedatangan Muhammad saw. Di tempat itu, terdapat bangunan Kabah yang dijadikan sarana peribadatan bagi masyarakat setempat. Al-Quran menyebutnya sebagai tempat ibadah pertama bagi manusia. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia adalah Baitullah (Ka’bah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96)
Sementara itu, dalam Islam, tradisi ini dirintis oleh Rasulullah SAW, yang membangun masjid Quba’ di awal kedatangannya di Madinah. Peristiwa ini dijadikan sebagai penanda wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan peribadatan dalam agama. Ini terjadi tak lama setelah Nabi hijrah ke Madinah.
Selain itu, Nabi juga membangun masjid Nabawi yang didirikan di atas tanah anak Yatim dari bani Najjar. Tanah itu telah dibeli Nabi dengan harga delapan ratus dirham. Langkah ini menunjukkan, bahwa Nabi telah mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid sebagai sarana peribadatan umat Islam.
2. Wakaf untuk peningkatan peradaban umat.
Masjid sebagai harta wakaf di masa awal Islam mempunyai peran yang signifikan. Selain sebagai sarana ibadah, ia juga digunakan untuk pendidikan dan pengajaran, yang biasa disebut dengan halaqah, lingkaran studi. Kegiatan ini tak lain merupakan bagian dari upaya mencerdaskan dan membangun peradaban umat. Di tempat itu, diajarkan cara membaca Al-Quran dan menulis. Di samping itu, didirikan pula katatib, sejenis sekolah dasar yang mengajarkan membaca, menulis, bahasa arab, dan ilmu matematika.
Dalam sejarah, wakaf model ini termasuk di antara manfaat wakaf yang paling mendapat perhatian besar dari umat Islam. Hampir di setiap kota besar di negara-negara Islam, bisa dipastikan, terdapat sekolah, universitas, perpustakaan, dan islamic centre dari hasil wakaf. Seperti di Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan berbagai tempat lain.
Wakaf untuk kegiatan ilmiah tersebut kini tetap dilaksanakan, terutama dalam bentuk beasiswa, gaji pengajar, biaya penelitian (riset), penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, seperti perpustakan dan alat-alat laboratorium, dan sebagainya. Salah satu contoh wakaf untuk kepentingan ilmiah adalah Universitas al-Azhar di Mesir yang berdiri lebih dari 1000 tahun lalu. Hingga kini pembiayaan universitas kebanggaan umat Islam itu dikelola dari harta wakaf. Hal semacam ini juga terjadi di seluruh dunia Islam pada masa kini, termasuk di Indonesia, walau pemanfaatnya belum optimal.
3. Wakaf untuk peningkatan kesejahteraan umat.
Hikmah lain disyariatkannya wakaf adalah untuk mensejahterakan kehidupan manusia secara umum. Ini sejalan dengan pandangan ulama al-Azhar Mesir Ali Ahmad al-Jurjawi, penulis Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Menurutnya, wakaf seharusnya mampu mengurangi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, serta dapat meningkatkan taraf hidup manusia.
Allah berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92).
Ketika ayat itu turun, sahabat Nabi Abu Thalhah berkata, Wahai Rasul Allah, saya ingin mendermakan kebunku karena Allah. Kemudian, Nabi menasehatinya agar kebun tersebut didermakan untuk kepentingan orang-orang fakir miskin.
Kemudian Umar bin Khattab pun melakukan hal yang sama.
Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari Ibn Umar, ia berkata, “Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah SAW meminta untuk mengolahnya, sambil berkata, Ya Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat? Rasulullah bersabda, “Jika engkau menginginkannya tahanlah tanah itu dan shadaqohkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan. Maka ia menshadaqahkannya kepada fakir miskin, karib kerabat, budak belian, dan ibnu sabil. Tidak berdosa bagi orang yang mengurus harta tersebut untuk menggunakan sekedar keperluannya tanpa maksud memiliki harta itu.”