...
Wakaf di Zaman Nabi Muhammad SAW

WAKAF MANDIRI – Wakaf berbeda dengan ibadah harta lainnya yang cenderung lebih cepat habis karena digunakan atau dikonsumsi. Sebab, harta yang telah diikrarkan untuk wakaf, harus terus dikelola dan menghasilkan manfaat tiada akhir.

Secara istilah, wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum, tanpa mengurangi nilai harta. Karena itu, manfaat dan pahala dari berwakaf tidak akan pernah habis. Sebab, yang terus disedekahkan adalah hasil pengelolaannya.

Syariat melaksanakannya sendiri telah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW pasca melakukan hijrah ke Madinah, tepatnya pada tahun kedua Hijriah. Wakaf di masa Rasulullah berupa tanah miliknya untuk digunakan membangun masjid. Meski demikian, terdapat perbedaan pendapat tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf.

Dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata, “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Anshar mengatakan adalah wakaf Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.” (Asy-Syaukani: 129)

Selanjutnya, syariat wakaf di masa Rasulullah kemudian dilaksanakan Umar bin Khattab. Beliau mewakafkan sebidang tanah di Khaibar.

Dari Ibnu Umar ra, berkata, “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata, ‘Hai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?’

Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.’

Ibnu Umar berkata,’Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta.’” (HR. Muslim)

Lalu, jejak Umar bin Khattab kemudian diikuti Abu Thalhah, yang mewakafkan kebun yang paling dicintainya, kebun Bairuha. Beliau termotivasi mewakafkan kebun paling produktif dan menghasilkan tersebut karena termotivasi oleh wahyu yang baru saja diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92)

Selanjutnya disusul oleh sahabat Rasulullah yang lain, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Abdurrahman bin Auf mewakafkan salah satu rumahnya untuk tempat menginap tamu-tamu Rasulullah. Seperti Umar bin Khattab, pun Utsman bin Affan menyedekahkan hartanya di Khaibar.

Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar.” Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.