WAKAF MANDIRI - “Berikan jaminan padaku dengan enam perkara dari diri kalian, akan aku jamin surga untuk kalian, (yang pertama) Jujurlah jika berbicara…” (HR. Ahmad)
Bahkan tidak hanya berbicara, dalam bersikap pun seorang yang beriman pada Allah akan mengutamakan kejujuran. Mustahil orang yang meyakini bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah, malah berlaku dusta. Misalnya mengambil apa yang bukan haknya, berkata selain kebenaran, dan lain sebagainya.
Di zaman sekarang ini, seolah-olah sifat jujur adalah barang langka yang tidak terpakai. Apabila kita berbicara dan bersikap jujur, justru akan dibenci banyak orang. Apakah hal ini bisa menjadi alasan untuk meninggalkan kejujuran?
Jika kita lebih takut pada kebencian manusia daripada kebencian Allah, tentu saja kita akan memilih melepas kejujuran. Namun seorang yang beriman pada Allah pastilah mengetahui bahwa jujur adalah harga mati yang mutlak ada sebagai karakter dirinya.
Bagaimana mungkin seseorang bisa dipercaya oleh manusia dan juga Tuhan, jika perkataannya menggabungkan antara kejujuran dengan dusta?
“Kalian wajib untuk jujur. Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebaikan. Dan kebaikan akan mengantarkan kepada surga. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur sehingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur.” (HR. Muslim)
Ada sebuah kisah mengenai seorang raja yang hendak mencarikan jodoh untuk putrinya, sang raja bingung harus bagaimana menentukan siapakah calon pendamping hidup yang paling sesuai untuk buah hati kesayangannya.
Akhirnya diadakan sayembara menanam benih, raja memberikan benih tanaman untuk seluruh pemuda di kerajaannya. Siapa yang dapat menumbuhkan benih itu dengan baik dalam 1 bulan, maka berhak mempersunting sang putri.
Sebulan kemudian, ratusan pemuda datang ke istana dengan membawa berbagai pot yang ditumbuhi bermacam tanaman. Ada yang berupa tanaman bunga dan buah. Namun, ada 1 pemuda yang datang hanya dengan pot bertanah kosong.
Raja justru tertarik dengan pemuda tersebut, “Wahai pemuda, mengapakah engkau berani datang tanpa membawa tanaman dalam potmu?”
Pemuda itu dengan lesu menjawab, “Mohon maaf yang mulia, saya sangat ingin mempersunting putri. Namun persyaratan dari yang mulia sungguh sulit… Apapun yang saya lakukan dengan benih dari kerajaan tidak mampu menumbuhkan tanaman.”
Pemuda itu sontak mendapat ejekan dari para pemuda lainnya. Betapa bodohnya dia tak bisa menanam sebutir benih! Akan tetapi raja justru tersenyum.
“Selamat wahai pemuda, engkaulah pemenang sayembara ini. Ketahuilah bahwa semua benih yang diberikan oleh kerajaan ini sudah steril dan tak mungkin menumbuhkan tanaman sebagaimana yang dibawa oleh pemuda lain dalam potnya., Hanya engkau yang lolos dalam ujian kejujuran ini.”
Seketika, merah padamlah wajah ratusan pemuda lainnya. Betapa malunya kebohongan mereka terungkap di hadapan raja.
Ibnul Qayyim berkata, “Kejujuran adalah jalan yang lurus di mana orang yang tidak menempuh jalan tersebut, dia akan celaka dan binasa. Dengan kejujuran inilah, akan terbedakan siapakah yang munafik dan siapakah orang yang beriman, dan siapakah yang termasuk penduduk surga dan siapakah yang termasuk penduduk neraka.” (Madaarijus Salikin, 2/ 257)
Orang yang menjaga sifat jujur tidak perlu khawatir memiliki banyak topeng, karena ia akan menampilkan diri apa adanya. Sebaliknya, orang yang sering berdusta, tentu saja perlu terus-menerus mengucap dusta untuk menutupi kebohongan yang satu dengan kebohongan lainnya.
Pada suatu hari seorang sahabat bertanya pada Rasulullah, “Apakah ada orang mukmin yang pengecut?” tanyanya.
Rasulullah menjawab, “Ada.”
Orang itu bertanya lagi, “Apakah ada orang mukmin yang kikir?”
Beliau menjawab, “Ada.”
Kemudian beliau ditanya lagi, “Apakah ada orang mukmin yang pembohong?”
Beliau menjawab, “Tidak ada.” (HR. Imam Malik)
Jelas, bahwa tak ada orang beriman yang memiliki sifat dusta. Jadi, mari bercermin. Sudah jujurkah kita? Apakah kita telah benar-benar beriman dan senantiasa memelihara kejujuran apapun yang terjadi? Semoga Allah memudahkan kita untuk selalu bersikap jujur.