WAKAF MANDIRI - Sesungguhnya musibah dan bencana, merupakan bagian dari takdir Allah Yang Maha Bijaksana. Allah SWT berfirman, “Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (QS. at-Taghabun: 11)
Ibnu Katsir rahimahullah menukil keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, bahwa yang dimaksud dengan izin Allah di sini adalah perintahNya, yaitu ketetapan takdir dan kehendakNya. Beliau juga menjelaskan, bahwa barang siapa yang tertimpa musibah lalu menyadari bahwa hal itu terjadi dengan takdir dari Allah kemudian dia pun bersabar, mengharapkan pahala, dan pasrah kepada takdir yang ditetapkan Allah, niscaya Allah akan menunjuki hatinya.
Allah akan gantikan kesenangan dunia yang luput darinya, yaitu berupa hidayah di dalam hatinya dan keyakinan yang benar. Allah berikan ganti atas apa yang Allah ambil darinya. Bahkan terkadang penggantinya itu lebih baik daripada yang diambil. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ketika menafsirkan firman Allah, “Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya.”
Maksudnya adalah Allah akan tunjuki hatinya untuk merasa yakin, sehingga dia menyadari bahwa apa yang ditakdirkan menimpanya, pasti tidak akan meleset darinya. Begitu pula segala yang ditakdirkan tidak menimpanya, juga tidak akan pernah menimpa dirinya. (Tafsir Al-Quran al-‘Azhim [4/391] cet. Dar al-Fikr)
Ibnu Katsir juga menukil keterangan al-A’masy yang meriwayatkan dari Abu Dhabyan, dia berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah, ketika dia membaca ayat ini ‘barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya’ dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka beliau menjawab, ‘Orang -yang dimaksud dalam ayat ini adalah seseorang yang tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir mereka. Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya, sehingga mampu mengucapkan istirja’ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (Tafsir Al-Quran al-‘Azhim [4/391] cet. Dar al-Fikr)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa ayat di atas berlaku umum untuk semua musibah, baik yang menimpa jiwa atau nyawa, harta, anak, orang-orang yang dicintai, dan lain sebagainya.
Maka segala musibah yang menimpa hamba adalah dengan ketentuan qadha’ dan qadar Allah. Ilmu Allah telah mendahuluinya, kejadian itu telah dicatat oleh pena takdirNya. KehendakNya pasti terlaksana dan hikmah Allah memang menuntut terjadinya hal itu.
Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah hamba yang tertimpa musibah itu menunaikan kewajiban dirinya, ketika berada dalam kondisi semacam ini? Ataukah dia tidak menunaikannya? Apabila dia menunaikannya, maka dia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah di dunia dan di akherat.
Apabila dia mengimani bahwasanya musibah itu datang dari sisi Allah, sehingga dia merasa ridha atasnya dan menyerahkan segala urusannya kepada Allah, niscaya Allah akan tunjuki hatinya. Dengan sebab itulah, ketika musibah datang hatinya akan tetap tenang dan tidak tergoncang seperti yang biasa terjadi pada orang-orang yang tidak mendapat karunia hidayah Allah di dalam hatinya.
Dalam keadaan seperti itu, Allah karuniakan kepada dirinya seorang mukmin keteguhan, ketika terjadinya musibah dan mampu menunaikan kewajiban untuk sabar. Dengan sebab itulah dia akan memperoleh pahala di dunia. Di sisi lain, ada juga balasan yang Allah simpan untukNya dan akan diberikan kepadanya kelak di akherat. Hal itu sebagaimana yang difirmankan Allah SWT, “Sesungguhnya hanya akan disempurnakan balasan bagi orang-orang yang sabar itu dengan tanpa batas hitungan.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/867])
Beliau melanjutkan, dari sinilah dapat dimengerti bahwa barang siapa yang tidak beriman terhadap takdir Allah ketika terjadinya musibah, dan dia meyakini bahwa apa yang terjadi sekedar mengikuti fenomena alam dan sebab-sebab yang tampak, niscaya orang semacam itu akan dibiarkan tanpa petunjuk dan dibuat bersandar kepada dirinya sendiri.
Apabila seorang hamba disandarkan hanya kepada kekuatan dirinya sendiri, maka tidak ada yang diperolehnya melainkan keluhan dan penyesalan yang hal itu merupakan hukuman yang disegerakan bagi seorang hamba, sebelum hukuman di akherat akibat telah melalaikan kewajiban bersabar.
Di sisi yang lain, ayat di atas juga menunjukkan, bahwasanya setiap orang yang beriman terhadap segala perkara yang diperintahkan untuk diimani, seperti iman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari akhir, takdir yang baik dan yang buruk, dan melaksanakan konsekuensi keimanan itu dengan menunaikan berbagai kewajiban, maka sesungguhnya hal ini merupakan sebab paling utama untuk mendapatkan petunjuk Allah dalam menyikapi keadaan yang dialaminya, sehingga dia bisa berucap dan bertindak dengan benar. Dia akan mendapatkan petunjuk ilmu maupun amalan.
Inilah balasan paling utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman. Maka orang-orang beriman itulah, orang yang hatinya paling mendapatkan petunjuk di saat-saat berbagai musibah dan bencana menggoncangkan jiwa kebanyakan manusia. Keteguhan itu ditimbulkan dari kokohnya keimanan yang tertanam di dalam jiwa mereka.