...
Mengembangkan Wakaf Produktif di Tempat Ibadah

WAKAF MANDIRI - Masjid bukan sekadar tempat ibadah. Sebagaimana makna harfiahnya. Sejak zaman Nabi Muhammad, 14 abad silam, masjid punya ragam fungsi. Tidak hanya tempat ibadah, seperti shalat dan iktikaf. Komplek masjid juga jadi pusat pemerintahan, markas militer, sentra pendidikan, bahkan ruang tawanan perang.

Seperti di Masjid Nabawi, masjid kedua yang didirikan Nabi di Madinah, terdapat ruang bernama suffah yang dipakai menampung program santunan fakir-miskin. Dalam perkembangan kontemporer, muncul banyak persepsi yang justru mempersempit fungsi masjid. Bila sebidang tanah diwakafkan untuk masjid, maka yang terpikir, peruntukannya semata ibadah murni.

Pola pikir ibadah ini juga berkembang di Indonesia. Seperti terbaca dalam arsip Departemen Agama (Depag). Bahwa wakaf terbesar digunakan buat tempat ibadah (68%). Sisanya untuk sarana pendidikan (8,5%), kuburan (8,4%), dan lain-lain (14,6%). Karena minimnya peran horizontal wakaf masjid, maka efek sosial-ekonominya pun kurang optimal. Ada masjid mentereng yang tak bisa berbuat banyak menyelesaikan kemiskinan jamaah sekitarnya. Sebagian masjid malah jadi tempat mangkal puluhan pengemis. Masjid lantas jadi ikon ketimpangan, bangunan mewah yang berdampingan dengan permukiman miskin.

Tak jarang pula ada masjid yang lebih sibuk berdandan, namun abai pada lingkungan. Programnya renovasi interior, perbaikan menara, menambah lantai atas, atau sekadar modifikasi pagar. Sebagai pendukung, kotak amal terus-menerus digelar di jalanan. Kadang mengganggu kenyamanan. Keberadaan wakaf masjid, dalam kasus ini, kerap malah jadi beban pengurus dan masyarakat sekitar.

Padahal, masjid bisa dikelola agar produktif dan memberi nilai tambah. Tidak hanya jadi penadah sedekah. Payung hukum yang bisa dipakai adalah ketentuan wakaf. Sebagian besar tanah masjid adalah wakaf. Yakni properti pribadi yang diserahkan jadi milik Allah, agar dimanfaatkan bagi kepentingan ibadah dan kemaslahatan umum.

Dengan logika wakaf, tanah masjid bisa digunakan untuk berbagai usaha produktif, sejauh tak bertentangan dengan prinsip Islam. Masjid Nabawi pada masa Nabi pun sudah memberi teladan bahwa fungsinya tidak sekadar ibadah. Usaha produktif juga mewarnai pola pengelolaan Masjid Nabawi masa kini. Sebagian lahan wakafnya disewakan untuk hotel berbintang. Untungnya diputar buat operasional rutin masjid dan kegiatan sosial.

Masjid Al-Azhar Kairo, Mesir, dengan sejumlah tanah wakafnya, juga dikembangkan dengan orientasi profit. Antara lain disewakan buat kantor-kantor pemerintahan. Al-Azhar sudah lama jadi ikon ”mesin uang” pendidikan. Karena mampu memberi beasiswa seluruh mahasiswanya dari pelbagai pelosok dunia, termasuk asal Nusantara.

Seperti Masjid Al-Azhar, lembaga pendidikannya bahkan sudah jadi ”merek dagang”. Cabangnya berdiri di mana-mana. Sehingga bisa berperan efektif dalam memutar modal. Sumber keuangan masjid pun makin mandiri dan profesional. Masjid-masjid di areal strategis memang sudah waktunya meninggalkan pola penggalian dana amatiran seperti kotak amal jalanan.

Pengelolaan pengembangan multifungsi masjid secara produktif, baru menjadi gerakan sporadis. Masih banyak masjid di areal strategis yang dikelola secara konvensional atau semi-profesional. Penggalian dana semi-profesional biasanya baru sebatas penyewaan aula untuk resepsi perkawinan dan pembentukan lembaga pendidikan.

Sebagai evaluasi pada pola pengelolaan wakaf masjid di Indonesia yang cenderung konsumtif. Cara kerja pengelola wakaf masjid (nadzir) juga dibuat lebih profesional. Inovasi pengembangan aset masjid sangat tergantung kreativitas nadzir. Karena itu, Undang-Undang Wakaf memberi kriteria lebih ketat.

Nadzir tidak bisa asal tokoh masyarakat, sesepuh desa, kiai, atau ulama. Tapi juga harus punya keahlian manajerial. Masa jabatan nadzir dibatasi, tidak bisa lagi seumur hidup. Sebagai professional fee, nadzir berhak menerima imbalan maksimal 10% hasil bersih pengembangan wakaf. Sehingga ia tidak sekadar pekerja sambilan.