...
WAKIF SEBAGAI MAUQUF ALAIH ?

Dalam wakaf yang menjadi hal terpenting atau inti adalah mauquf ‘alaih. Maquf ‘alaih sendiri merupakan penerima manfaat dari harta yang sudah diwakafkan sesuai dengan ikrar wakaf yang disepakati.

Ada banyak manfaat yang bisa dirasakan dengan dana wakaf baik untuk ibadah, sosial, pendidikan, kesehatan, dakwah, serta meningkatkan perekonomian. Selain itu wakaf bisa memberikan sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir.

Pemenuhan hak mauquf ‘alaih tersebut bisa diambilkan dari dana langsung atau dari hasil pengolahan dan pengembangan wakaf produktif.

Wakaf langsung sendiri merupakan pelayanan langsung yang bisa dirasakan oleh Mauquf ‘alaih seperti halnya wakaf masjid, sekolah, rumah sakit dan lain sebagainya atau manfaat nyata yang bisa dirasakan oleh mauquf ‘alaih.

Sedangkan untuk wakaf produktif merupakan wakaf melalui kegiatan produktif seperti pengelolaan usaha ternak lele, ayam, pertanian dan kegiatan produktif lainya, yang hasil dari kegiatan produktif tersebut bisa dirasakan oleh mauquf ‘alaih.

Wakaf tentunya berbeda dengan zakat yang mana penerima manfaat sudah ditetapkan dalam Al – Qur’an siapa yang berhak menerimanya. Namun, dalam wakaf tidak ada syarat atau ketentuan dari penerimanya.

Bentuk dari wakaf pun bermacam – macam sesuai dengan kehendak atau kesepakatan saat ikrar, atau sesuai dengan tujuan dari wakaf. Selain itu untuk membantu fakir miskin guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam wakaf, wakif bertindak sebagai pemilik kehendak siapa yang bakal menerima manfaat dari harta yang diwakafkan. Kehendak dari wakif tidak bisa diubah – ubah dan harus dilaksanakan karena ketetapanya bersifat mengikat.

Namun jika ada wakaf yang belum mempunyai mauquf ‘alaih maka pemilihanya bisa sesuai dengan keperluan fakir miskin atau kesejahteraan orang banyak.

Namun dengan kebebasan pemilihan mauquf ‘alaih ini membuat banyak spekulasi berbeda – beda. Oleh karena itu banyak yang membuat kreasi agar wakaf bisa lebih menarik dan bervariasi. Ada yang menawarkan mauquf ‘alaih dalam bentuk insentif guru ngaji, makam, masjid dan lain sebagainya.

Namun kadang ada juga yang menetapkan mauquf ‘alaih adalah wakif dengan memberikan sebagian keuntungan dari produk wakaf diserahkan kepasa wakif, dengan alasan produk dari wakaf mudah diterima dan untuk mempercepat penghimpunan wakaf.

Namun meskipun penetapan mauquf ‘alaih bermacam – macam dalam penentuanya terdapat beberapa batasan – batasan yaitu :

  1. Mauquf ‘alaih sebagai bentuk ketaatan manusia kepada Allah serta mendekatkan diri kepada-Nya. Menurut Ulama Hanafiah mensyaratkan wakif mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan keyakinanya sendiri, sehingga mereka berpendapat sah bagi siapa saja yang ingin berwakaf untuk sekolah, rumah sakit baik dari muslin dan non muslim. Namun tidak sah baik muslim atau non  muslim yang berwakaf untuk tempat ibadah non muslim, dan tidak sah wakaf sari non muslim untuk tempat ibadah masjid kecuali Baitul Maqdis. sementara itu, ulama syafiiah, Hambaliah dan Malikiah tidak mensyaratkan qurbah tetapi tidak boleh berwakaf untuk hal kemaksiatan.
  2. Ada dua istilah yang musti sahabat ketahui, yaitu Al – waqf al munqati’ dan Al – waqf gayr Al - munqati’. Al – waqf Al Munqati adalah wakaf yang diberikan kepada pihak yang bisa punah dan setelahnya tidak ada ketetapan diserahkan kepada pihak yang tidak pernah putus. sedangkan Al waqf Gayr Al Munqati’ adalah wakaf yang manfaatnya diberikan kepadsa mauquf ‘alain dan tidak pernah terputus seperti halnya fakir miskin atau lainya. Ulama Syafiiyah dan Hanafiyah berpendapat manfaat wakaf tidak boleh diberikan kepada pihak yang mudah terputus. Sedangkan menurut Ulama Hambaliah wakaf bisa diberikan kepada pihak yang terputus. Menurut Ulama Malikiyah pemberian wakaf kepada pihak yang terputus idak diperkenankan, mereka memperkenankan wakaf dengan jangka waktu tertentu baik yang sementara maupun yang sifatnya selamanya. Jika pihak yang menerima wakaf terputus maka bisa diberikan kepada fakir miskin yang silsilahnya paling dekat dengan wakif untuk wakaf selamanya. Sedangkan untuk wakaf yang sifatnya sementara dengan mauquf ‘alaih terputus maka status wakafnya kembali menjadi milik ahli waris atau wakifnya.
  3. Manfaat dari harta wakaf tidak boleh diterima oleh kembali kepada wakif atau wakif tidak bisa menjadi mauquf ‘alaih. Hal ini karena dengan diwakafkanya harta benda wakaf maka sudah menjadi hak nadzir atau hak umat, oleh sebab itu wakif tidak bisa menerima manfaat dari harta benda yang sudah diwakafkan kecuali wakif termasuk kedalam mauquf ‘alaih umum seperti wakaf masjid, wakif tetap bisa melaksanakan sholat disana. Mayoritas ulama berpendapat bahwa ketika wakak manfaat dirasakan oleh wakif maka hukum wakaf tersebut tidak sah karena bertentangan dengan harta benda yang sudah diwakafkan keluar dari kepemilikan wakif. Namun menurut Abu Yusuf tetap sah karena wakafnya telah terlaksana dengan ucapan tanpa penyerahan.
  4. Mauquf ‘alaih merupakah pihak yang boleh memiliki harta wakaf, para ulama sepakat bahwa adalah kepemilikan manfaat. Kehadiran mauquf ‘alaih pada saat ikrar wakaf tidak disyaratkan, seperti wakaf yang manfaatnya untuk si fulan dan anak keturunanya, setelah mereka untuk fakir miskin atau untuk masjid. Selain itu tidak disyaratkan juga mauquf ‘alaih ditentukan dengan nama dibatasi, sebab mauquf ‘alaih ditentukan dengan sifat tanpa dibatasi seperti fakir miskin, fuqaha, para imama dan khatib. Namun apabila ketika ikrar wakaf wakif belum menentukan penerima manfaatnya, maka mauquf ‘alaih yang berhak menerima adalah fakir miskin.

Mengenai pembahasan mauquf ‘alaih telah disebutkan dalam Pertaturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang – undang Wakaf pasal 30 ayat (1) Pernyataan wakif dituangkan dalam bentuk ikrar wakaf sesuai dengan jenis harta benda yang diwakafkan, diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf yang dihadiri oleh nadzir, mauquf ‘alaih dan sekurang – kurangnya dua orang saksi.

Ayat (2) kehadiran nadzir dan mauquf ‘alaih dalam Majelis Ikrar Wakaf untuk wakaf benda bergerak berupa uang dapat dinyatakan dalam surat pernyataan nazir dan/atau mauquf ‘alaih.

Ayat (3) dalam hal ini mauquf ‘alaih adalah masyarakat luas (publik), maka kehadiran mauquf ‘alaih dalam Majelis Ikrar Wakaf  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak disyaratkan.

Jadi bisa disimpulkan bahwa wakif tidak bisa menjadi mauquf ‘alaih. Demikian juga dengan anak keturunanya, bisa menerima wakaf namun dalam bentuk wakaf ahli (wakaf keluarga) yang mana peruntukanya untuk kesejahteraan kerabat dekat wakif.

Atau wakafnya dalam bentuk wakaf musytarak (wakaf gabungan) antara wakaf ahli dan wakaf khairi yang mana sebagian manfaatnya untuk kesejahteraan keluarga dan sebagian lagi untuk kesejahteraan umum.

Jadi kesimpulan dari pembahasan diatas bahwa wakif tidak bisa sekaligus menjadi mauquf ‘alaih, namun untuk keluarga atau ahli waris bisa dengan model wakaf ahli atau musytarak.