WAKAF MANDIRI - Wakaf adalah permasalahan yang sudah lama dikenal masyarakat, bahkan sejak generasi pertama dikenalnya peradaban manusia. Al-Quran menyebutkan, bahwa Kabah adalah harta wakaf pertama di dunia yang dibangun oleh Nabi Adam AS, lalu direnovasi oleh Nabi Ibrahim AS dan anaknya Nabi Ismail AS. Dan akhirnya sampai ke zaman Nabi Muhammad SAW dan umatnya saat ini.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96)
Ahli Kitab mengatakan, bahwa rumah ibadah yang pertama dibangun berada di Baitul Maqdis. Oleh karena itu, Allah SWT membantahnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan memiliki sifat alamiah menyukai kebaikan. Dengan perilaku alamiah ini, manusia membentuk masyarakat dan pada akhirnya timbullah perbuatan wakaf dari sebagian masyarakat yang peduli dengan lingkungan sekitarnya, di samping merupakan ajaran seluruh agama di dunia.
Wakaf yang dikenal pada masa tersebut, masih dalam bentuk wakaf tradisional untuk tempat ibadah, dan ada untuk sedikit kesejahteraan bagi orang fakir miskin. Hal ini seperti yang terjadi pada akhir kerajaan Romawi dan Yunani.
Perkembangan wakaf modern sebenarnya baru dimulai pada zaman Islam. Islam memperkenalkan istilah Al-Waqf Al-Dzurry (Wakaf Keturunan/keluarga) yang bertujuan membentuk modal tetap untuk investasi jangka panjang, guna membantu keturunan waqif (orang yang berwakaf) menghadapi kesukaran ekonomi dan menambah penghasilan di masa depan.
Masyarakat Islam pada zaman Rasulullah SAW sudah membuat berbagai macam bentuk wakaf dan berbagai macam peruntukannya. Kemudian perkembangan jenis wakaf dan peruntukannya pada masa selanjutnya, diserahkan sepenuhnya kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Islam tidak pernah membatasi perkembangan perwakafan untuk kesejahteraan umat. Islam hanya memberi tuntunan dan aturan, agar niat dan tujuan baik ini dilakukan dengan cara yang baik. Dan perkembangan selanjutnya bahwa pada abad ke 3 H, masyarakat Islam sudah membentuk semua jenis wakaf yang diperuntukan bagi hampir semua kebutuhan masyarakat pada saat itu. Antara lain untuk panti asuhan, subsidi gizi anak-anak, pendidikan, pemeliharaan sungai, penyediaan air bersih, dan lain-lain.
Bahkan Ibnu Khaldun menggambarkan, Wakaf di Kairo dan Damsyik dapat membiayai penyelenggaraan pendidikan tinggi secara gratis. Mengundang para mahasiswa dari berbagai penjuru dunia Islam dengan diganti biaya perjalanan dan biaya hidupnya. Serta memberikan beasiswa, di samping mampu memberi kesejahteran tinggi terhadap para pengajarnya. Semua persoalan ekonomi umat pada saat itu dapat dijawab sebagian besarnya melalui wakaf.
Masyarakat Indonesia secara umum kurang memahami permasalahan wakaf dalam Islam dengan benar dan menyeluruh. Hal ini terbukti, bahwa wakaf yang banyak dikelola masyarakat Indonesia adalah wakaf yang dikelola seperti pada zaman sebelum Islam, seperti wakaf untuk tempat ibadah, kuburan, gedung madrasah dan wakaf lain yang tidak produktif. Wacana wakaf produktif dan wakaf uang kembali digaungkan di Indonesia oleh beberapa tokoh, pemikir dan cendekiawan Indonesia.
Walaupun demikian, upaya pengembangan pengelolaan wakaf tidak boleh hanya tergantung pada satu pihak tertentu saja. Para pengelola wakaf (nazhir), mesti melakukan langkah-langkah maju dengan membuat satu kemitraan usaha bersama lembaga-lembaga manajemen investasi, lembaga keuangan syariah, dan lembaga lainnya.
Kemitraan usaha bagi nazhir wakaf mutlak diperlukan bagi pengembangan pengelolaan wakaf, terutamanya jika berbentuk wakaf uang. Selain itu, para nazhir wakaf dituntut untuk amanah, teliti dan profesional dalam memilih bentuk-bentuk investasi dan kemitraan usaha untuk menghindari kemungkinan terjadi kerugian pada harta wakaf tersebut.