WAKAF MANDIRI - Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah SAW menyatakan bahwa Allah berfirman, “Kesombongan adalah pakaian kebesaranKu dan keagungan adalah kain penghiasKu. Oleh karena itu, barang siapa yang menanggalkan salah satunya dariKu, Aku akan memasukkannya ke dalam neraka Jahanam.”
Menurut Imam Ghazali, makna hadis tersebut adalah bahwa keagungan dan kesombongan termasuk dari sifat-sifat khusus Allah. Maka, kedua sifat itu tidak layak ada pada selain diriNya.
Dalam Al-Quran, ada beragam kisah yang menunjukkan dampak buruk keangkuhan manusia. Salah satunya terdapat dalam surah al-Kahfi ayat 32 hingga 44. Rangkaian ayat itu menceritakan kedua orang pada zaman dahulu. Seorang di antaranya beriman, sedangkan yang lain ingkar.
Sang mukmin dalam kisah ini diuji oleh Allah SWT dengan pelbagai kesempitan. Dirinya mengalami sedikit rezeki dan keturunan. Adapun kondisi kawannya yang fasik sebaliknya. Ia hidup dengan kekayaan yang melimpah ruah.
Salah satu harta yang dimilikinya, ialah dua lahan perkebunan. Tanah itu sangat subur. Surah al-Kahfi menggambarkan, kedua kebun itu berbuah banyak. Selain itu, aliran airnya juga selalu deras, tidak pernah mengering.
Tiap musim panen, si fasik sangat gembira. Berbagai buah, semisal anggur atau kurma, dihasilkan dari kebun-kebunnya itu. Sebagian dijualnya, sehingga mendatangkan uang dalam jumlah besar. Bagian yang lain disimpan atau dibudidayakannya.
Tidak sekadar mempunyai, orang fasik tersebut juga sangat piawai merawat kedua kebunnya. Dengan ilmu yang dimilikinya, ia dapat mengatur dan memaksimalkan lahan. Dengan demikian, hasil yang diperolehnya setiap panen akan selalu optimal.
Saat berjumpa dengan kawannya yang Mukmin, lelaki itu kerap menyombongkan diri. “Maka ia berkata kepada kawannya (yang Mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia, ‘Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat'.” Demikian kutipan terjemahan dari surah al-Kahfi ayat 34.
Padahal, segala hartanya itu adalah ujian dari Allah SWT. Orang fasik ini diuji dengan kelapangan rezeki. Sebaliknya, Mukmin yang miskin itu diuji dengan keterbatasan harta, tetapi memiliki iman di dalam dada. Saking bangganya, kekayaan yang dimiliki justru membuatnya kian sombong. Orang fasik ini menganggap, harta bendanya itu bersifat abadi untuk selamanya.
Al-Quran membantah anggapan ini. Dengan meyakini bahwa kekayaannya abadi, orang itu sesungguhnya sedang menzalimi diri sendiri. “Dan dia memasuki kebunnya, sedangkan ia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata, ‘Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya’.” (QS. al-Kahfi: 35).
Dengan meyakini bahwa kekayaannya abadi, orang itu sesungguhnya sedang menzalimi diri sendiri. Dalam ayat berikutnya, dijelaskan tentang penyesalan si fasik tersebut. Pada Hari Akhir, dia menyesali masa hidupnya yang terlalu larut dalam menumpuk-numpuk harta.
“Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu.” (QS. al-Kahfi: 36).
Ia pun teringat akan nasihat kawannya yang Muslim. Saat masih di dunia, temannya itu pernah memberikan petuah kepadanya agar menjauhi sifat sombong. Kawan yang Mukmin ini meneruskan nasihatnya. Si fasik disarankannya untuk memulai kebiasaan tawadhu dari lisan. Umpamanya, dengan selalu memuji Allah SWT dan bersyukur kepada-Nya setiap menyaksikan kebun-kebunnya ini.
Dalam surah yang sama, sang Mukmin digambarkan sebagai pribadi yang ikhlas. Ia tidak mengharapkan imbalan atau pamrih apa pun dari kawannya yang kaya raya. Dengan nasihat-nasihatnya itu, dirinya hanya bertujuan ibadah, lillahi ta’ala. Karena itu, dalam hidupnya dipenuhi dengan kesabaran.
Namun, si fasik tetap saja bertahan dengan sifat sombong dan keangkuhannya.. Dampak yang dirasakannya tidak hanya di akhirat. Allah juga menimpakan kepadanya akibat-akibat di dunia.
Kebun-kebun milik si ingkar diterpa musibah. Dari yang semula hamparan lahan berbuah rimbun, kini menjadi “tanah yang licin". Sistem irigasi yang telah dirancangnya ludes sama sekali. Airnya surut ke dalam tanah. Itulah buah dari kesombongan dan keangkuhannya.