WAKAF MANDIRI - Sebagian orang memandang kaum dhuafa (fakir miskin) itu, sebagai suatu kerendahan. Dan sebaliknya, kekayaan sebagai suatu kemuliaan. Sehingga mereka memandang remeh orang-orang yang tidak berharta. Sedangkan kepada orang-orang yang memiliki banyak kekayaan, mereka begitu menghormati dan memuliakan.
Bahkan, seringkali kemiskinan menjadi kambing hitam, ketika terjadi kasus kriminal, seperti pencurian dan perampokan. Di samping itu, kaum dhuafa dianggap lahan empuk bagi pemurtadan. Padahal jika kita mengkaji lebih dalam, dhuafa bukanlah aib dan kerendahan. Juga bukan penyebab mutlak terjadinya banyak kejahatan dan penyimpangan. Tetapi justru kemerosotan aqidah dan akhlaklah yang menjadi pangkal dari semua permasalahan tersebut.
Sebenarnya, orang-orang dhuafa juga memiliki jasa yang besar, tidak kalah dengan orang-orang kuat dan kaya. Hanya saja, kebanyakan manusia tidak memperhatikannya. Berikut ini alasan tidak boleh memandang rendah kaum dhuafa. Yakni,
Dari Imran bin Hushain, Nabi SAW bersabda, “Aku melihat surga, maka aku dapatkan penghuninya adalah orang-orang fakir.” (HR. Al-Bukhari).
Dari Usamah bahwa Nabi SAW bersabda, “Aku berdiri di depan pintu surga maka kebanyakan orang yang memasukinya adalah orang-orang miskin. Sedangkan orang-orang kaya masih tertahan.” (HR. Al-Bukhari).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Orang-orang fakir dari kaum muslimin masuk surga sebelum orang-orang kaya selama setengah hari, yaitu lima ratus tahun.” (HR. At-Tirmidzi).
Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya kaum fakir Muhajirin mendahului orang-orang kaya (dari kaum Muhajirin) ke surga pada hari kiamat selama 40 tahun.” (HR. Muslim).
Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Telagaku sebagaimana jarak antara Aden dan Oman, lebih dingin dari es, lebih manis dari madu, lebih harum dari minyak kasturi. Cangkir-cangkirnya seperti bintang-bintang di langit. Barangsiapa yang minum darinya satu kali, maka ia tidak akan haus selamanya. Orang yang pertama datang adalah orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin.” Kemudian seseorang bertanya, ‘Siapakah mereka wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Mereka orang-orang yang kusut rambutnya, pucat wajahnya dan kotor bajunya, tidak dibukakan pintu untuk mereka, tidak menikah dengan wanita yang kaya, mereka memberikan setiap apa yang wajib diberikan dan tidak mengambil apa yang menjadi hak mereka’.” (HR. Ahmad)
Allah SWT memarticleskan mengenai Nabi Nuh ‘alaihis salaam bahwa kaumnya menjelek-jelekannya karena yang mengikutinya adalah orang-orang yang lemah. Mereka berkata, ”Mereka berkata, ‘Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikutimu adalah orang-orang yang hina.’” (QS. Asy Syu’ara: 111)
Seperti juga yang dikatakan Hiraklius kepada Abu Sufyan ketika bertanya kepadanya mengenai Nabi. “Dan aku bertanya kepadamu apakah orang-orang mulia yang mengikutinya atau orang-orang lemah, dan kamu mengatakan orang-orang lemah yang mengikutinya. Mereka sebenarnya adalah pengikut para Rasul.” (HR. Al-Bukhari).
Dari Haritsah bin Wahb al Khuzai’i, dia berkata, ”Aku pernah mendengar Nabi SAW, ‘Maukah aku articleshukan kepada kalain mengenai penduduk surga? Mereka adalah setiap orang yang lemah dan dipandang rendah, andaikata ia bersumpah atas nama Allah, maka Dia akan memenuhinya. Maukah aku articleshukan mengenai penduduk neraka? Yaitu setiap orang yang keras hati, tidak sabar dan sombong’.” (Muttafaqun ‘alaih)
Rasulullah SAW bersabda, ”Maka demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan pada kalian, tetapi yang aku khawatir pada kalian akan terbentangnya dunia pada kalian sebagaimana pernah terbentangkan pada orang-orang sebelum kalian, maka kalian akan berlomba-lomba dalam dunia sebagaimana mereka berlomba-lomba dan dunia akan melalaikan kalian sebagaimana mereka telah terlalaikan.” (HR. Al-Bukhari)
Dari Sa’ad bin Abi Waqqas bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidaklah kaliaan mendapatkan pertolongan dan rezeki kecuali dengan sebab orang-orang lemah di antara kalian.” (HR. Al-Bukhari).
“Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang yang lemah di antara mereka dengan doa, shalat dan keikhlasan mereka.” (HR. Muslim)
Jadi, kemiskinan atau dhuafa bukanlah sebuah kehinaan, dan kekayaan bukanlah sebuah kemuliaan. Maka, kaum dhuafa tak perlu merasa sedih. Dan tidak sepantasnya bagi orang yang diberi kelebihan harta oleh Allah merasa lebih mulia dan meremehkan kaum dhuafa.