...
Buaian Dunia, Dapat Goyahkan Iman

WAKAF MANDIRI - “…Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Al Mukmin: 39)

Dunia itu manis, hijau, dan penuh akan perhiasan yang menggiurkan. Dunia membuat orang yang memandangnya dan hati yang mengangankannya, menganggap bahwasanya inilah kehidupan yang abadi dan sebenarnya. Dunia telah membuat manusia terlena dan lupa akan sebenar-benarnya kehidupan yang telah menanti. Mereka lupa akan kematian yang siap membidik diri.

Disisi lain, manusia terus-menerus berada dalam kepayahan mengejar dunia dan perhiasannya. Bagaikan seseorang yang kehausan di tengah jalanan yang begitu terik dengan sengatan matahari. Dia menyangka ada air di tempat tersebut, namun tatkala ia mendekat, hanya kekecewaan dan penyesalan yang ia dapatkan.

Hati orang yang beriman akan mengetahui, bahwa dunia ini adalah lahan bercocok tanam untuk akhirat. Namun, hati yang tenggelam akan gemerlapnya dunia, seperti tanah keras yang tidak layak untuk tempat penyemaian benih. Dan di hari Kiamatlah saat untuk memanen benih.

Dari Ibnul Umar radhiallahu ‘anhuma, ia mengatakan, “Rasulullah SAW memegang kedua pundakku seraya bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir’.” (HR. Bukhari)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Sejak diciptakan, manusia terus-menerus menjadi musafir yang tidak berhenti dari perjalanan panjangnya, kecuali di surga atau di neraka. Orang yang berakal mengetahui bahwa safari penuh dengan berbagai kesulitan dan cobaan. Adalah mustahil kelezatan, kenikmatan dan kebahagiaan hakiki itu didapat sebelum sampai kepada tempat tujuan”. (Al-Fawa’id)

Seperti juga yang dikatakan oleh Bilal bin Sa’ad, “Wahai orang-orang yang bertakwa, sesungguhnya kalian tidak diciptakan untuk kefanaan (dunia), yang kalian alami hanyalah pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, sebagaimana kalian telah pindah dari tulang rusuk ke rahim sang ibu, dari rahim ibu ke dunia, dari dunia menuju kuburan, dari kuburan menuju Mahsyar, dan dari Mahsyar menuju kekekalan di Surga atau Neraka.” (As-Siyar V/91)

Seperti itulah harusnya kita di dunia. Sebagai seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan jauh untuk menuju sebaik-baik tempat peristirahatan. Siang malam dia membulatkan tekad, mengumpulkan bekal, dan melakukan perjalanan. Dia melewati jalan berbatuan selangkah demi selangkah hingga sampai pada akhir sebuah perjalanan.

Allah SWT menjadikan dunia sebagai barang yang cepat hilang dan dipenuhi dengan tipuan. Dunia terkadang datang dan pergi, dari kecukupan kepada kekurangan, dari kesenangan kepada kesulitan, dia tidak akan terus-menerus dan tidak tetap dalam satu keadaan. Dunia adalah sebuah tempat yang dipenuhi dengan syahwat dan perhiasan.

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Surga)”. (QS. Ali ‘Imran: 14).

Itulah kesenangan hidup di dunia, dimana semuanya bukanlah puncak dari sebuah harapan. Manusia yang menjadikan kehidupan dunia sebagai puncak harapan, bagai berlari di belakang fatamorgana, berhari-hari, bertahun-tahun. Lalu pada akhirnya dia akan mati. Dan kematian adalah takdir seluruh makhluk.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”. (QS. Ali ‘Imran: 185).

Maka jelaslah bahwa, buaian dunia itu adalah cobaan yang Allah berikan kepada setiap hamba. Allah ingin mengetahui siapakah di antara hambaNya yang mampu menjajaki setiap jalan bebatuan, melompati setiap tebing cobaan, menerjang huru-hara petir kesedihan. Allah mencari siapa saja di antara hambaNya yang pantas untuk melalui pintu SurgaNya.

Mereka yang selamat dari buaian dunia adalah mereka yang mampu mengolah kehidupan di dunia menjadi bekal untuk kehidupan akhirat. Mereka menggunakan fasilitas dunia secukupnya, tidak berlebih-lebihan dalam mengejar dunia. Mereka tidak menjadikan dunia sebagai satu-satunya tujuan. Mereka menggunakan dunia sebagai jembatan untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak.