WAKAF MANDIRI - Wakaf sebagai amalan yang mengekalkan kebaikan tidak boleh dihibahkan, diwariskan, atau dijual. Lantas bolehkah mengubah aset wakaf, jika tidak menghasilkan manfaat?
Mengambil keputusan untuk mengubah aset wakaf, harus dilandaskan pada berkurang, atau rusak, atau tidak memenuhi fungsinya sebagai harta wakaf untuk memberikan manfaat. Sebab, amalan wakaf sangat tergantung kepada bermanfaat atau tidaknya sesuai dengan ikrar wakaf.
Berdasarkan hal ini, maka diperbolehkan untuk menjual aset wakaf, kemudian menggantinya dengan aset yang lebih strategis. Sehingga mendatangkan manfaat yang lebih banyak. Benda pengganti tersebut, kemudian berkedudukan sebagai harta wakaf.
Hal ini juga pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab. Ketika itu beliau memindahkan Masjid Kufah yang lama ke tempat yang baru. Sedangkan tempat yang lama, dijadikan pasar bagi para penjual tamar (as-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, III: 386).
Pun hal ini juga diterapkan pada pengelolaan wakaf di Singapura. Guna memproduktifkan aset wakaf yang terlantar, Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) mengeluarkan fatwa yang isinya istibdal diperbolehkan untuk mengamankan aset wakaf yang terbengkalai dengan memproduktifkannya di sektor lain. Tentunya ini mempertimbangkan berbagai mudharat dan maslahat dari apa yang dilakukan.
Misalnya seperti masjid Bencoolen. Masjid ini direvitalisasi menjadi masjid modern dengan 3 tingkat bangunan komersial dan 12 tingkat apartemen yang memiliki 103 unit apartemen lengkap dengan berbagai fasilitasnya.
Hasil yang diperoleh dari pengelolaan aset wakaf ini pun, dapat disalurkan kepada penerima manfaat wakaf (maukuf alaih), seperti masjid, madrasah, lembaga sosial, fakir miskin, dan layanan pemakaman.