WAKAF MANDIRI - Seorang Muslim hendaknya bertindak berdasarkan ilmu dan data, bukan hanya prasangka atau serampangan dalam berbuat. Dari Abu Mas’ud Al Badri radhiallahu’anhu, ia mendengar Nabi SAW bersabda, “Seburuk-buruk landasan tindakan seseorang adalah sekedar ucapan, katanya... ” (HR. Abu Daud).
Al Baghawi rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini secara umum digunakan untuk menanggapi hadits yang tidak ada sanadnya dan tidak shahih sama sekali, yang dinukilkan oleh lisan orang-orang. Maka orang yang mendasari perbuatannya dalam rangka menggapai apa yang ia inginkan dengan sekedar “katanya begini… katanya begitu…” dianalogikan oleh Nabi SAW dengan hewan tunggangan yang ia tunggangi untuk menuju ke tempat tujuan. Kemudian Nabi SAW memerintahkan untuk cek dan ricek setiap kabar yang dinukil dan berhati-hati dalam menyampaikan kabar.” (Syarhus Sunnah Al Baghawi, 3/413).
Maka, hadits ini mengajarkan kita untuk tidak mendasari tindakan kita pada perkara yang tidak jelas kebenarannya, hanya sekedar katanya, tanpa didasari ilmu dan data.
Allah SWT berfirman, “Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa.” (QS. Al-Hujuraat: 12).
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi SAW juga bersabda, “Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.” (HR. Bukhari no.5143, Muslim no. 2563).
Allah SWT juga mengharamkan menyampaikan kabar yang dasarnya sekedar katanya dan katanya. Dari Al Mughirah bin Syu’bah radhiallahu’anhu, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan sikap durhaka kepada para ibu, pelit dan tamak, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan Allah juga tidak menyukai qiila wa qaala, banyak bertanya dan membuang-membuang harta.” (HR. Al Bukhari no.5975, Muslim no.593).
Rasulullah SAW juga memuji orang yang bertindak dengan tenang, hati-hati dan tidak serampangan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya pada dirimu ada dua hal yang dicintai Allah: sifat al hilm dan al aanah.” (HR. Muslim no.17).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Al Hilm adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya ketika marah. Ketika ia marah dan ia mampu memberikan hukuman, ia bersikap hilm dan tidak jadi memberikan hukuman. Al Aanah adalah berhati-hati dalam bertindak dan tidak tergesa-gesa, serta tidak mengambil kesimpulan dari sekedar yang nampak sekilas saja, lalu serta-merta menghukuminya, padahal yang benar hendaknya ia berhati-hati dan menelitinya.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/573).
Jadi, seorang Muslim hendaknya bertindak berdasarkan ilmu dan data, bukan hanya prasangka atau serampangan dalam berbuat. Wallahu a’lam.