...
Berikan Maaf pada Siapapun yang Meminta

WAKAF MANDIRI - Dalam kitab al-Adab al-Mufrad, Imam al-Bukhari mencatat hadits Nabi Muhammad SAW yang menggambarkan ahli ibadah yang terancam masuk neraka.

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata, Dikatakan pada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya fulanah (seorang wanita) rajin mendirikan shalat malam, gemar puasa di siang hari, mengerjakan (kebaikan) dan bersedekah, tapi sering menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Rasulullah SAW berkata, “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka.” Mereka (para sahabat) berkata (lagi), “Fulanah (lainnya hanya) mengerjakan shalat wajib, dan bersedekah dengan beberapa potong keju, tapi tidak (pernah) menyakiti seorang pun.” Rasulullah SAW berkata, “Dia adalah penghuni surga.” (HR. Imam al-Bukhari)

Kita semua tahu, Allah itu al-Tawwab (Maha Penerima Taubat). Kasih sayangNya mengalahkan murkaNya. RahmatNya jauh lebih luas dari azabNya. Selama seorang hamba memohon ampun kepadaNya, Allah akan mengampuninya.

Namun, manusia tidak seluas itu kasih sayangnya. Manusia tidak sedalam itu pewajarannya. Bisa dibilang manusia adalah makhluk yang paling susah meminta maaf dan memaafkan. Karena itu, Rasulullah mengajari umatnya untuk menahan diri. Jangan mudah mengumbar kata, jangan gampang menyebar articles, jangan sering menghardik sesamanya. Karena Rasulullah tahu, ruang maaf manusia terbatas, tidak seluas dan sedalam Tuhannya.

Mendapatkan maaf manusia jauh lebih berat dan susah. Belum lagi jika kita tidak merasa bersalah, tapi orang lain memendam kesal kepada kita. Mengetahui diri kita salah saja, kita masih enggan meminta maaf, apalagi tak merasa bersalah sama sekali. 

Hadits di atas adalah contoh nyata. Seorang wanita ahli ibadah, rajin shalat malam, gemar berpuasa, banyak bersedekah dan beramal, tapi lidahnya selalu membawa rasa sakit bagi tetangganya.

Rasulullah mengatakan, “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk ahli neraka.” Artinya, amal ibadah yang tidak berbanding lurus dengan perilaku sosial yang baik, ibadahnya kekurangan makna.

Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak mengasihi orang yang tidak mengasihi manusia (lainnya).” (HR. Imam al-Bukhari).

Ini menunjukkan bahwa kasih sayang sesama manusia, tidak kalah pentingnya dengan ibadah yang bersifat ritual. Bahkan Allah, tidak akan mengasihi orang yang tidak mengasihi sesamanya.

Artinya, Allah menghendaki hamba-hambanya membangun dunia yang harmonis, menciptakan lingkungan yang sehat dari kebencian, membiasakan kepedulian, membudayakan sayang-menyayangi, serta hal-hal positif lainnya. Minimal tidak berbuat kerusakan di muka bumi, termasuk menyakiti perasaan sesamanya.

Karena itu, ketika diceritakan kepada Rasulullah tentang seorang wanita yang ibadahnya biasa-biasa saja, hanya menjalankan shalat wajib dan bersedekah ala kadarnya, tapi tidak pernah menyakiti perasaan orang lain, Rasulullah mengatakan, “Dia adalah penghuni surga.”

Jika dipahami secara mendalam, hadits ini sedang berbicara tentang keadilan. Wanita itu memenuhi kewajibannya sebagai seorang hamba dengan melaksanakan perintahNya (shalat wajib), juga memenuhi hak-hak orang dengan tidak pernah menyakiti perasaan mereka.

Berbeda halnya dengan cerita pertama, ia memang berhasil memperbanyak amalnya dengan shalat malam, puasa, sedekah dan amal-amal baik lainnya, tapi gagal memenuhi hak-hak orang lain dengan selalu menyakiti perasaan mereka. Padahal, hak-hak orang lain tidak kalah kedudukannya dengan ibadah ritual. Karena keduanya diperintahkan oleh Allah.

Perbedaan dasarnya terletak pada penyelesaiannya. Berdosa kepada Allah bisa diselesaikan dengan sederhana, cukup memohon ampunanNya, dan Allah akan mengampuninya. Karena Dia adalah al-Tawwâb al-Rahîm (Maha Penerima Taubat lagi Maha Pengasih).

Tapi dengan manusia, sangatlah rumit. Ada beberapa kerumitan yang harus dimengerti terlebih dahulu. Salah satunya yakni, ketidaksadaran manusia akan kesalahannya. Setiap manusia dengan bawaan lahir dan budayanya, memiliki standar dan sudut pandang yang berbeda-beda tentang sesuatu. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan nilai moral.