
Memaknai Sebuah Kritikan
WAKAF MANDIRI - Kritikan seakan terasa pedas menyayat hati ketika dimaknai berbeda. Sejatinya kritikan yang disampaikan dengan perasaan cinta ingin menasehati saudaranya dan berharap cinta Allah, niscaya berbuah kebaikan.
Terkadang seseorang berat menerima saran atau kritikan, dan merasa dirinya dipojokkan tatkala cara mengkritiknya tak beradab. Hal ini diperparah lagi, ketika yang bersangkutan memiliki karakter sensitif atau mudah tersinggung secara berlebihan.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Siapa berpikir dengan jernih dan melatih dirinya untuk tenang dengan kebaikan, maka sebenarnya kritikan lebih menguntungkan dari pada pujian, karena pujian bila sesuai fakta membuat orang ujub dan dan hancurlah semua kelebihannya, bila mengada-ada lalu ia bangga dengan kepalsuan dan demikian itu jelas suatu bentuk cacat berat.
Sementara kritikan orang bila sesuai fakta, maka mendorong untuk mengoreksi kekurangan tersebut dan demikian itu suatu keuntungan besar yang semua orang butuh kecuali orang kerdil. Jika kritikan tersebut mengada-ada sedang ia bersabar maka ia terlatih untuk bersabar dan lapang dada lalu ia meraup kebaikan, karena kebaikan orang yang mengkritik akan diberikan kepadanya pada hari pembalasan sehingga ia meraup pahala tanpa susah payah. Yang demikian itu semua orang pasti senang kecuali orang gila.” (Siyar wal Akhlak, hal. 114).
Seorang mukmin hendaklah tawadhu’ ketika dinasehati dan menasehati orang lain. Berbaik sangkalah, karena setiap diri pasti punya aib dan kekurangan. Yakinlah saat orang lain mengoreksi aib kita, berarti ia perhatian pada kita dan berharap kita senantiasa dalam kebaikan.
Ketika orang yang mengkritik dan pihak yang dikritik sama-sama memiliki iman kuat dan akhlak mulia, niscaya kritikan akan dianggap hadiah yang diberikan dengan perasaan suka cita. Dan yang menerima juga akan merasa bahagia, karena tujuannya untuk kebaikan dan taqwa, asal disampaikan dengan hikmah dan bijaksana.
Kritikan adalah media untuk memperbaiki diri, agar seorang mukmin senantiasa instropeksi diri dan segera berbenah, sehingga berada di level tertinggi dalam segala kebaikan. Hindari sikap apriori dan pikiran-pikiran negatif atau su’udzon pada orang lain. Jangan biarkan dendam dan hasad menguasai, baik ketika menasehati atau dinasehati orang lain. Bukankah dengan kritikan atau nasehat seorang akan mengetahui kekurangan kita?
Ibnu Rajab berkata, “Konon para salaf jika ingin menasehati seorang mereka menyampaikannya secara rahasia, sampai-sampai ada yang mengatakan barangsiapa yang menasehati saudaranya secara rahasia berarti ia betul-betul menasehati saudaranya dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak, berarti ia hanya ingin menjatuhkan martabatnya.” (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, I/225).

Menjaga Kepercayaan dengan Kejujuran

Wakaf di Zaman Nabi Muhammad SAW

Penolakan, Bukan Akhir Segalanya

Definisi Wakaf Produktif

Menjaga Lisan

Hukum Mengubah Aset Wakaf

Kunci Sukses Dalam Kehidupan Dunia

Melipatgandakan Rezeki Hingga 700 Kali

Gunakan Harta Untuk Bekal Dunia dan Akhirat

Besarnya Pahala Wakaf
- Menjaga Kepercayaan dengan Kejujuran
- Wakaf di Zaman Nabi Muhammad SAW
- Penolakan, Bukan Akhir Segalanya
- Definisi Wakaf Produktif
- Menjaga Lisan
- Hukum Mengubah Aset Wakaf
- Kunci Sukses Dalam Kehidupan Dunia
- Melipatgandakan Rezeki Hingga 700 Kali
- Gunakan Harta Untuk Bekal Dunia dan Akhirat
- Besarnya Pahala Wakaf